Komplek mbah mendek
Salah satu makam tua terkenal adalah makam Mbah Mendek di Desa Kutogirang, Mojokerto, Jawa Timur.
Mendek, menurut cerita lisan, seorang penyebar Islam di akhir Kerajaan Majapahit. Orang sederhana yang rendah hati. Ada 5 wejangan beliau yang masih terpasang di pesarean: sabar, nrimo, temen (serius), ikhlas, budi pekerti luhur.
Kompleks makam ini begitu populernya sehingga dibuatkan pendapa, musala, kakus, kamar mandi. Ada juru kunci alias kuncen yang setiap hari merawat dan menjaga kebersihan. Karena itu, makam Mendek sangat bersih dan terawat.
Saat mampir ke sana saya lihat sekitar 10 pria sedang istirahat di pendapat. Gelar tikar, tidur. Ada lagi 5 orang lagi salat di musala. Tenang sekali, maklum tempat sembahyang atau meditasi.
Omong punya omong, ternyata banyak kenalan saya dari Sidoarjo aktif berziarah ke sini. Katanya, cari ketenangan. Dari Mendek biasanya ada yang lanjut ziarah ke petilasan Narotama dan Jolotundo, sekitar 8 km.
“Saya pernah 4 tahun 3 bulan di sini,” kata Yasin dari Krembung Sidoarjo. Pada hari-hari tertentu dia rutin ke Mendek untuk refreshing spiritual, katanya.
Koh Jiang, orang Tionghoa dari Buduran, pernah berkelana setahun lebih di Mendek. Melarikan diri dari konflik keluarga. Di petilasan lawas ini dia mengaku tenang, sabar dan ikhlas. “Di rumahku orang hanya bicara soal uang uang uang,” katanya serius.
Pada hari-hari keramat, khususnya Jumat Legi, kompleks seluas hampir satu lapangan bola ini ramai nian. Biasanya rombongan dari Sidoarjo, Surabaya, Mojokerto dan kota-kota yang jauh. Sembahyang, salat, semedi, atau sekadar duduk-duduk mengharap belas kasihan Sang Pencipta.
“Tempatnya sepi sehingga bagus untuk merenung,” kata Jiang, Tionghoa yang rupanya sudah jadi penganut kejawen itu. “Kita kan perlu melestarikan tradisi dan budaya leluhur.”